Kembali ke Halaman Depan

kutimba ilmu darimu

kukutip pengalaman bersamamu

kusimpan segalanya di sanubari

untuk bangsa dan negeri


 

ARTIKEL PENDIDIKAN

 

Sumber : Prof Dr Ryoji Noyori (Kompas)

Guru, Murid, dan Sistem Kunci Keberhasilan

Tak mudah bagi Prof Dr Ryoji Noyori, penerima penghargaan Nobel bidang kimia tahun 2001 dari Universitas Nagoya, Jepang, untuk mengomentari mengapa iklim penelitian di Indonesia tidak berkembang. Padahal pengalamannya menunjukkan, secara individual kemampuan para peneliti Indonesia tidak berbeda dibandingkan dengan peneliti negara maju.

"Yang jelas, di Jepang pengembangan sumber daya manusia maupun pengembangan penelitian bertumpu pada tiga hal. Guru yang baik, murid yang baik, dan sistem yang baik pula," paparnya kepada wartawan, Selasa (3/2) di Jakarta. Ia khusus diundang Yayasan Sains Toray Indonesia (ITSF) untuk menghadiri penyerahan penghargaan iptek ke-10 di Ballroom Hotel Shangri-La, Jakarta.

Keprihatinan atas ketertinggalan sumber daya manusia, iklim penelitian, dan pengembangan iptek di Indonesia dibandingkan dengan negara lain memang mewarnai acara jumpa pers.

Menurut Presiden Lembaga Penelitian Kimia dan Fisika (RIKEN) sekaligus Profesor Universitas Nagoya itu, dengan guru, murid, dan sistem yang baik, Indonesia akan mampu mengejar ketertinggalannya dari negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang, dalam tempo 5-10 tahun.

"Saya bisa katakan gap kemampuan individualnya tidak jauh beda, namun secara global hasilnya berbeda antara Indonesia, AS, dan Jepang. Amerika pun bisa maju karena didukung para peneliti muda dari negara-negara Asia," kata profesor yang postdoctoral-nya diselesaikan di Universitas Harvard.

Di Jepang, misalnya, gaji guru cukup besar. Dalam tulisan Yusron Ihza di Kompas (30/4/1997) disebutkan, keistimewaan pendidikan Jepang adalah pengembangan wawasan, baik terhadap kehidupan sehari-hari maupun dunia yang lebih luas. Bahkan, untuk memupuk kesadaran tentang dunia luar ada kampanye kokusai-ka (internasionalisasi Jepang dalam segala hal), termasuk mengundang mahasiswa asing yang belajar di Jepang jadi guru tamu.

Sedangkan sistem mendukung dengan pematangan siswa lulusan S1 di pabrik, lembaga riset, maupun kantor swasta untuk bidang manajerial. Dana riset, alat peraga, murahnya harga buku, menjadi pendukung lain perkembangan sumber daya manusia dan penelitian.

Ryoji mengungkapkan, penelitian untuk menghasilkan sesuatu yang besar dan berharga juga lebih tepat dilakukan dengan kolaborasi dan kerja keras, tidak bersifat individual. Penelitian yang dihasilkan perlu dilanjutkan sampai mengarah ke sebuah aplikasi.

"Penelitian untuk menghasilkan penemuan baru tidak membutuhkan ongkos besar, tetapi justru pengembangannya menuntut biaya besar," ujarnya.

Di Indonesia

Mengenai sistem pendukung penelitian di Indonesia, penerima penghargaan Iptek Toray 2004 Dr Arief Budi Witarto MEng mengakui, sistem yang tidak mendukung penelitian di Indonesia membuat ia dan rekan-rekannya enggan menekuni penelitian.

Salah satu yang tidak mendukung itu adalah anggaran penelitian. Penggunaan anggaran selama ini ditentukan pihak administrasi, bukan peneliti yang bersangkutan. "Semestinya dikendalikan peneliti dengan dibantu administrasi sehingga bisa konsentrasi," ungkap peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.

Sistem lain yang disorot Arief adalah penilaian karya. Di Indonesia, penilaian hasil penelitian lebih bersifat kuantitas, seperti tebal laporan dan jumlah halaman. Sementara di luar negeri, kualitas isi diutamakan.

"Salah satu ukuran kualitas penelitian di luar negeri adalah hasil penelitian yang dipublikasikan dibaca seberapa banyak orang. Di Indonesia masih sebatas laporan belaka," kata peneliti yang pernah 12 tahun belajar di Jepang itu.

Anggaran penelitian

Mengenai anggaran penelitian, Menteri Negara Riset dan Teknologi Hatta Radjasa mengakui masih jauh dari cukup. Pemerintah hingga saat ini memang belum mampu menyediakan dalam jumlah besar.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan departemen riset dan LIPI, besar anggaran penelitian tahun 2004 hanya 0,05 persen dari pendapatan domestik bruto.

Jumlah itu terkecil di antara bangsa-bangsa di Asia. Keterbatasan ini masih dikenai pajak sehingga jumlahnya semakin kecil.


 
 

Copyright ©2004 SMA Negeri 1 Berastagi. All rights reserved.